SURABAYA – Penetapan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara tidak lepas dari sejarah peran perjuangan Indonesia dalam perlawanan kontra ofensif semenjak meletusnya Agresi Militer II.
Berbagai perlawanan itu dilakukan melalui jalur diplomasi maupun pergerakan militer dengan puncak terjadinya peristiwa 1 Maret 1949. Sehingga pemerintah memberikan peringatan khusus pada hari tersebut melalui Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022.
Baca juga:
Danrem 082/CPYJ Peduli Terhadap Lingkungan
|
Polemik Hilangnya Nama Soeharto
Sejarawan UNAIR Pradipto Niwandhono SS M Hum pada Sabtu (12/3/2022) mengungkapkan ada upaya mendelegitimasi peran militer dengan tidak munculnya nama Soeharto dalam naskah Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022.
“Memang Soeharto hanya melaksanakan dan bukan sebagai penggagas utama. Namun, posisinya sebagai komando memegang peran penting dan strategis yang seharusnya tertulis di dalam Keppres, “ ujarnya.
Dosen ilmu sejarah itu juga menjelaskan bahwa permasalahan utama adalah munculnya nama Soekarno-Hatta. Padahal, dua tokoh politik sipil tersebut berada pada jalur diplomasi dengan komitmen tidak ingin mengangkat senjata. Posisi mereka juga sedang diasingkan untuk melakukan resistensi perlawanan terhadap Belanda.
“Selain itu, bahwa penggagas serangan berasal dari sultan (HB IX, Red) dan panglima besar (Jenderal Besar Soedirman) memang sudah benar, ” ucapnya.
Pradipto menambahkan, seharusnya ada pandangan peran yang proporsional antara militer dengan tokoh politik. Di sisi lain, ada tokoh militer lain yang hanya tertuang di bagian naskah akademik seperti T B Simatupang dan A.H Nasution yang merupakan tokoh penting pergerakan sejak Agresi Militer II.
Soekarnoisasi Sejarah
Melalui penerbitan Keppres itu, menurut Pradipto, muncul indikasi pemerintahan Jokowi terkesan ingin merestrukturisasi peran Soeharto. Bahkan muncul kesan adanya
upaya pengembalian sejarah.
“Jika ada peranan, sebaiknya ditulis sesuai dengan kenyataannya. Jika memang ada insiden buruk di era orde baru, juga harus ditulis dalam sejarah. Begitu pun dengan nilai positifnya, ” ujarnya.
“Di era sekarang ini, ada upaya pengembalian sejarah Pancasila dari 18 agustus 1945 menuju 1 Juni 1945 yang khas Soekarno melalui BPIP, ” imbuhnya.
Dari sisi politik terdahulu, Orde Baru men-delay peran Bung Karno, bahkan terkesan memang mendelegitimasinya. Jadi, saat ini berbalik terjadi upaya mendelegitimasi balik oleh tokoh politik yang berkuasa.
Pradipto berharap distorsi (pemutarbalikan) sejarah yang tidak sesuai dengan objektivitas sejarah tidak digunakan sebagai alat politik. Khususnya adanya indikasi untuk mengubah sudut pandang masyarakat ke depan terhadap sejarah.
Penulis: Azhar Burhanuddin
Editor: Feri Fenoria